Welcome to Lampoh tuha

Jumat, 25 November 2011

Satu Malam bersama Negeri Jiran


Lampu ditelpon ku berkedip-kedip dan itu bertanda bahwa ada sms atau telpon yang masuk dan ketika kulihat ternyata itu adalah telpon dari temanku dan dia mengajakku untuk bakar ikan malam itu seperti malam-malam yang pernah-pernah dan kupun bergegas menunggu jemputan darinya karena hampir dari setiap kegiatan bakar ikan mereka mengajakku untuk ikut, berepa menit kumenunggu dan datanglah dia menjemputku dan seperti yang sebelum-belumnya tugasku adalah pada bagian pembakarannya karena kami telah memiliki tugas masing-masing setiap kali kegiatan bakar ikan kami lakukan, sambil menunggu ikan untuk siap dipanggang akupun duduk diteras kost mereka sendirian sambil memandangi langit dan melihat kedepan dengan pandangan yang kosong, sesekali kujenguk mereka untuk memastikan apakah ikan sudah siap untuk dipanggang dan disaat itu nampaklah sosok yang asing bagiku karena baru kali ini kumelihatnya, sosok itu seorang laki-laki yang bermuran sekitar 40 tahunan yang sedang keasikan dengan handphone ditangannya dan ketika dia melihat kearahku akupun tersenyum kepadanya, dan disaat itu juga kulihat ikan sudah siap untuk dipanggang, akupun bergegas untuk menghidupkan batok kelapa yang sudah tersedia diluar yang menanti untuk di bakar dari tadi, ketika semua batok kelapa sudah menjari arang dan tanda sudah bisa diletakkan ikan diatasnya untuk dipanggang maka kami pun menyiapkan ikan dalam panggangan dan meletakkannya diatas bara api itu, tidak terlalu lama kali ini ku memanggang ikan dikarena angin yang berhembus sangat kencang sehingga arang-arang itu akan membara dengan hebatnya, setelah itu ikanpun siap untuk disantap dan kami memanggil semua orang untuk berkumpul diteras depan karena memang biasanya setiap kali kami memangang ikan maka kami akan menyantapnya di teras depan sehingga setiap orang yang lewat akan melihat kami disana.


Setelah makan malam dengan menu ikan panggang itu selesai kami masih berrkumpul diteras dan seorang sosok laki-laki yang tadi kulihat didalam rumah itu bertanya pada kami dimanakah tempat penjualan kopi karena dia ingin menikmati secangkir kopi yang jarang dia nikmati ditempatnya dia sekarang ini dan akhirnya diapun menyerahkan sejumlah uang untuk membeli kopi dan akupun bergegas untuk membeli kopi seperti yang dia mintakan, sekembalinya aku membeli kopi tak kulihat lagi mereka terduduk ditempat tadi tapi sudah pindah ke teras atas tempat biasanya kami duduk sambil mengobrol dikala malam, dan kamipun menyiapkan hidangan kopi dan duduk diteras sambil ngobrol dan bercengkrama dan pembicaraan untuk malam itupun di mulai pada saat itu.

Berawal dari saling memperkenalkan diri kami masing-masing dan disitulah kutau bahwa nama sosok pria yang sudah berumur lanjut itu dengan panggilan CEK WAN dan dia sekampung dengan teman kami juga dan ternyata cek wan itu sudah berkeluarga dengan seorang wanita dari negeri jiran (Malaysia) dan menetap disana sudah 13 tahun dab sudah dikarunia seorang anak dan dia mulai bercerita keadaan tentang negeri jiran berawal dari pekerjaan yang dia guluti disana dan ketika ku mengetahui ternyata dia sering berhubungan dengan kepala negara bagian disana karena seperti kita ketuhui bahwa Malaysia menganut sistem Kerajaan Hirarki yang menjalankan pemerintahannya bukanlah raja mereka akan tetapi seorang perdanan menteri (PM) dan memiliki Negara bagian dan disinilah ketakjubanku kepadanya karena ternyata walaupun dia seorang yang bukan warga asli disana tetapi dia sering berhubungan langsung tanpa perwakilan dengan kepala-kepala negara bagian itu dan tak sering juga dia berhubungan langsung dengan perdanan menteri Malayasia itu sendiri dikarenakan pekerjaannya yang menuntut untuk berhubungan langsung dengan mereka-mereka itu kemudian kuberfikir “kok bisa di negara Malaysia seorang rakyat jelata bisa berhubungan langsung dengan kepala negara bagian? Sedangkan dinegara kita untuk menemui seorang CAMAT saja di kampung kita sudah sangat susah apalagi untuk menemui para orang-orang penting seperti yang telah dilakukan Cek Wan itu” disinilah yang aku terpaku dan berkata dalam hatiku ternyata negara kita adalah negara yang para pejabatnya “sombong” dan negara yang para pejabatnya yang “Hypocrite”, dan kemudia dia berkata bahwa dia tidaklah memiliki pendidikan yang tinggi tetapi hanyalah sekedarnyanya tetapi walaupun pendidikiannya tak setinggi para doktor atupun profesor tetapi dia memiliki penghasilan yang sangan menjulang dan mempunyai pekerjaan yang hebat dan sekarang kumulai berkata dalam hatiku lagi “kalau di sini jangan yang pendidikannya hanya sebatas sekolah menengah umum, yang Sarjana Muda ja ga tau mau bawa Ijazah Sarjananya kemana, padahal banyak Sarjana kita itu yang memiliki skill yang hebat yang bisa membuat negara ini lebih maju dari pada negara-negara lain tetapi Pemerintahan kita yang membuat para sarjana kita itu yang sudah beberapa tahun bergelut dengan buku dan mendapat ijazah harus pulang kampung dan angkat cangkul alias cematok blang” kalau kita tidak memiliki paman atau saudara yang memiliki jabatan tinggi di negara kita maka kita tak kan pernah mendapatkan pekerjaan itulah indonesia kita, berbeda dengan negara-negara luar sana yang hanya melihat dari skill dari orang, apabila orang itu memiliki skill yang hebat maka dia akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan “wah”, dan sekali lagi kuberkata dalam hatiku inilah indonesia yang pejabatnya dari atas sampai kebawah dan malahan sampai ketingkat paling sangat bawah semuanya melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Cek wan sekarang mulai menceritakan tentang warga aceh yang tinggal dan menetap disana sama seperti dia dan mengatakan kalau mereka sedang gabung-gabung mereka akan menggunakan bahasa aceh (bukan bahasa indonesia) dan merasa bangga berbicara bahasa Aceh dan dia juga menceritakan ada beberapa sahabatnya yang bukan tinggal di Malaysia tetapi tinggal di English, America, Swedia, Singapure, dll dan kalau mereka berkumpul dengan sesama aceh tak segan segan mereka berbicara dalam bahasa aceh dan bahkan ada anak-anak dari mereka yang lahir dan tumbuh besar di negara luar sana cuma bisa berbicara dalam 2 (dua) bahasa yaitu bahasa negara tempat mereka tinggal dan bahasa ACEH disinilah diriku terkesima dan takjub kepada mereka-mereka itu, walaupun anak-anak itu tak pernah melihat tanah tempat orang tua mereka lahir tetapi mereka bisa berbicara dan mengerti dalam bahasa tempat orang tua mereka lahir yaitu bahasa ACEH dan itu semua disebabkan orang tua meraka yang selalu saja apabila berbicara dengan keluarga mereka menggunakan bahasa aceh dan sekarang diriku yang berada di aceh sendiri mulai memandingkan perbedaan aorang aceh kita yang disini yang sudah malu berbicara dalah bahasa nenek moyang kita dan merasa ketinggalan jaman apabila kita berbica dalam bahasa aceh dan mulai membuang segala adat dan istiadat yang ada secara turun temurun yang diwariskan dari nenek moyang kita dan menganggap apabila ada orang yang masih melakukan adat itu maka orang itu kampongan.

Seharusnya kita malu pada diri kita sendiri karena kita orang aceh bukanlah orang aceh lagi tetapi seperti orang yang berkunjung dan melancong ke daerah orang lain, begitu banyak sudah adat dan istiadat yang sudah kita lupakan dan hilang dari bumi kita orang aceh karena kita membuang segalanya yang sudah diturunkan oleh orang tua kita kepada kita, aceh kini bukan lagi aceh yang dapat dibanggakan orang-orangnya seperti kita membanggakan orang-orang yang terdahulu sebelum kita, karena ke egoisan dan sifak kemunafikkan kita sekarang ini membuat kita lupa siapa kita sebenarnya dan dari mana kita sebenarnya, Sultan Iskandar Muda pernah berkata “Adat bak peutomeruhom Hukom bah Syiah Kuala, Matee aneuk meupat jeurat Matee adat pat keuh tamita”.

Dan cerita malam itu berakhir dengan segala keingintahuanku yang masih bergejola dan dengan seribu perbandingan antara Negara daerah dan tanah kelahiranku dengan negara  dan tanah orang luar disana.