Suatu senja di perbukitan kota ini kuterduduk diam membisu menatapi langit yang terus bersinar dan awan yang terus bergerak dan tak pernah bisa diam, kumulai teringat akan sebuah nama yang takkan pernah bisa kulupakan yang selama ini terus menemani jasad untuk tak pernah melepas jiwanya, seseorang yang selama ini membuatku tersenyum dikala kusedang gundah dan gelisah dan ketika kulelah memikirkan dunia ini, sebuah jiwa yang terus mengajakku tuk bermain dunia yang fana ini.
Rahma itulah sebuah panggilan yang biasanya keluar dibibirku, suatu nama yang masih terukir dalam lubuk hati ini. Disaat itu kumulai teringat akan sebuah kenangan lama tenatang seorang wanita yang slama ini telah berada jauh dalam hati ku ini dan kuukir namanya dengan sangat dalam dalam hati ini. Ketika kuberdiri tepat berada dihadapannya dan menatapi sosok tubuh yang sungguh anggun dikala mata ini memandangnya kucoba mengeluarkan sepatah kata dari sekian banyak kata-kata yang ingin kukeluarkan dari dalam mulut ini dan ingin kutanyakan sebuah pertanyaan dari sederet pertanyaan yang timbul bagaikan rumput diterpa angin dalam kepala ini tapi semua itu sia sia, lidah ku kelu bagaikan batu yang terus saja diam disitu dan hanya bisa memandangnya dari kejauhan saja, lalu kucoba mendekatinya lebih dekat lagi bagaiakan darah yang mengalir dalam nadiku, kutatapi setiap garis dari wajahnya yang tak pernah bosan kulihat walaupun jutaan kalinya kumemandang dan terkembanglah senyum diwajah yang anggun itu ketika dia sadar bahwaku berada tepat dihadapannya, dan bertanya padaku “apa kabar?” dan kupun tersenyum dan menjawab pertanyaannya hanya dengan sepatah kata saja “baik” itu jawabku dan kumulai melihat tangannya, ingin kuraih dan kugenggang dan tak pernah melepaskannya serasa tak pernah ingin lepas dari lagi tetapi alam sadarku mulai mengganguku dengan begitu banyak kenyataan pahit yang harus kuterima sebuah pernyataan yang tak ingin kudengar dan kuketahui bahwa aku datang kesini dan bertemunya pada malam ini hanya demi membuat sebuah acara walimah dan ketika kusadar bahwa esok dia akan bersanding dengan seorang pria yang jauh lebih mampan dariku dan jauh seperti keinginan ayah dan ibundanya selama ini, seorang laki-laki yang berhati lembut lulusan sebuah universitas terkemuka dari negeri jiran yang sudah berkeja menjadi seorang pengajar di salah satu universitas di kota besar yang apabila dibandingkan dengan diriku maka sangat jauh tak pernah sepadan, aku hanyalah seorang buruh kasar di salah satu pabrik bangunan di kota ini yang berpenghasilan kecil yang tak munkin kan bisa menafkahinya kelak apabila kubersanding dengannya, dari situlah kuberniat melepaskannya dari sebuah ikatan janji suci karena kutak ingin dia hidup sengsara dan menderita nanti karenaku. Malam itu adalah malam terakhir kubersamanya setelah sekian lama kami telah bersama tapi munkin inilah jalan takdir kami bahwa kami harus menerima jalan takdir ini. Dari awal semenjak kuketahui bahwa kami akan mengalami hal begini bahwa kami tak kan munkin bisa bersama dari situlah segala cara kulakukan agar dia bisa menjauhiku baik itu secara baik ataupun secara buruk karena kuinginkan kebahagiaan baginya semata karena kebahagiaannya lah yang menjadi prioritasku slama ini. Malam itu adalah malam terakhir kalinya kumenatap wajahnya dengan begitu dekatnya dan itu hampir saja meruntuhkan air mata ini tapi kelopak mataku ini masih sanggup menahannya dan kuhanya bisa tersenyum dan membuatnya tersenyum walaupun kutau dalam batinnya menangis keras.
Setelah segala persiapan kami lakukan untuk menghiasi rumahnya dengan pernak pernik untuk acara esoknya barulah kami beristirah dengan mecari minum2 dan mengobrol sampai larut malam dan rembulanpun beranjak dari peraduannya dan akhirnya kamipun beristirahat di sebuah sofa panjang yang beratapkan langit dan berdindingkan angin yang terletak diluar rumahnya hingga kami terbangun oleh sebuah panggilan yang indah terdengar dari microfon menasah yang terletak dekat dengan rumahnya dan kamipun beranjak untuk melaksakan shalat subuh dan setelah itu kamipun segera mangambil sebuah dandang dan peralatan-peralatan lainnya untuk menyajikan sebuah jamuan makan yang akan diahadiri oleh tetua – tetua kampung itu, setelah acara jamuan makan para tetua – tetua kampung selesai maka ketika itu kuberdiri bersandarkan tembok rumah tempatku melepas lelah dengan sebatang rokok dan segelas air putih ditanganku sambil memandangi sekitarku dan ketika itu kuterkejut oleh sebuah pemanadangan yang sangat menakjubkanku yaitu sebuah pemanadangan seorang sosok wanita yang berdiri anggun dan ayu yang mengenakan jubah keindahan jauh dihadapanku yang setiap mata yang berada disitu memandang akan terkesima seperti diriku jua, dan diapun memandang lurus kearahku dan tersenyum malu karena kumemandangnya dengan terpaku bagaikan patung yang berdiri tegap.
Waktu seakan berhenti dan sang mentari tak berputar seperti biasa ketika kumemandangnya dan rasanya ingin kuhabiskan waktuku hanya untuk memandangi sosok tubuh itu karena kusadari detik-detik itu adalah detik-detik yang takkan munkin kan kulihat lagi kelak dan akan kurindukan suatu saat nanti.
Waktu telah berlalu banyak ketika kumengingat tentang sebuah kenangan tentang seorang sosok wanita yang biasanya selalu saja menyapaku dengan sebuah senyuman setiap saat. Kini kuhanya terduduk disini dengan tersenyum disaat kumengingatnya dan senyuman itu masih mengambang jelas di wajahku sampai saat ini juga dan sekarang kuberanjak melangkah pulang kerumahku dengan sebuah kenangan yang masih terasa jelas diangan-anganku dan dengan sebuah perkataan bahwa dulu aku dan dia pernah bersamanya walaupun hanya sejenak............